Geus moal jauh ceuk abahmah, debat tidak kurang tidak lebih bakal kurang lebih berbicara dizona aman, jika perlu maka ambangkan saja persoalan-persoalan krusial dengan mengkambing hitamkan aturan atau undang-undang yang kerap membelenggu kondisi riil dari sebuah tatan pemerintahan yang ada saat ini. Misalanya soal pembangian kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan Kabupaten yang masih juga belum Clear sebab sering kali berkelit itu ranahnya pusat, itu kewenangan provinsi dan lain-lain.
Memang jika ada itu alasan klasik tapi memang berdasar sebab, itulah yang terjadi dina mangsa otonomi setengah hati, pemeritahan setengah hari, kaluhur teu nangtung kahandap hese akaran, Apa yang menjadi sebab ? sebabnya lantaran banyak penyebab yang menyebabkan sebab akibat selalu djadikan alasan...ha..ha..Kitu pan dinya kanyataan nana.
Semoga ini tidak terjadi dalam debat Cabup dan cawabup Garut untuk Pilkada serentak 2018 ini, sebab segenap rakyat yang berharap mendapatkan gambaran butuh sentuhan realistis dalam konsep pembangunan serta janji-janji politik yang membumi anu kudu karawu dua penangan sarta kasaba ku sacara akal tur pikiran. Lain janji tinggal janji atawa politik ngumpulkeun nuleutik terus diusik diajak-ajak dirorojok sangkan jiga asa enya padahal saukur ngabobodo anu leutik keur meuli raga atineung, rasa jeung prakna milik maranehanana, bari isuk jaganing geto saeunggues tinekanan kapilih lain nu milih nu dipanggihan kalah sibuk mayaran hutang ka bandar urut bela anan nganjuk ngahutang keur nyumponan babasan dina janji politik, Saetik nuleutik kabeuli, rea nubadag kudu kabandang, hartina cadu eleh wajib meunang, sabab mun eleh eta pecundang...Sakitnya tuh disini baru ngurut dada.
Sakali deui dalam konteks debat calon Pilkada Garut, hayang ngadenge aya sora tur daria memberi harapan nyata yang realistis terkait konsep sesungguhnya berdasarkan apa yang menjadi dasar kebutuhan warganya dalam menentukan arah pembangunan...Bukan hanya membuat janji politik yang tdak membumi apalagi jika hanya sekedar janji...Engkena pan janji tinggal janji, kop nujanggi geura tabih tah nu mere geura bawa bari ngan ukur sabatas bewara.
Banyak persoalan menggurita yang butuh kimitmen utuh tidak hanya sekedar kahayang meunang dengan cara-cara mudah nyentangan batur mentang mentang kemenangan seperti didepan mata padahal sesungguhna Bupati dan Wakil Bupati Garut yang akan menjadi pemanang bahkan penemangnya sudah ada dalam catatan Alloh "Ajja Wajalla", jadi intina kaasup debat Paslon eta hanya sebatas upaya menjemput takdir mereka, apa iya dipercaya untuk menjadi orang-orang nomor satu di tatar Garut ? atau memang hanya menjadi bagian pelengkap secara yang akan mencatatnya bahwa pernah dalam suatu masa ngaran jalema eta nyalonkeun Bupati atawa Wakil Bupati di Garut.
Najan ngaco abah moal rek mapatahan ngojay kameri, namun suatu kewajiban, memberikan gambaran betapa yang harus mendapatkan perhatian bagi para calon jika ingin memenangi perhelatan. salah satunya adalah, pastikan landasan serta pijakan rencana pembangunan pada duduk persoalan sesungguhnya jagan hanya sekedar menggugurkan kewajiban kudu nyieun Visi-Misi pencalonan urusan realistis atawa henteuna kumaha engke . Tah Kuduna dibalik engke kumaha mun kami meunang kudu aya rasa kahariwang sebab tidak hanya sekedar memenuhi janji politik semata melainkan perlu juga banyak yang dipertanggung jawabkan teruatama kebohongan kepada Alloh SWT degan memaksa meminta takdirnya berubah untuk mereka...
Kela nepi dieu heula nyak...
Thursday, May 3, 2018
.Ibuku juga bagian Ibu-Ibu Indonesia
By Unknown at 5/03/2018
No comments
Jangan gagal paham bagaimana ketika memang kita semua juga sulit memahami, nalar fanatisme saya sebagai orang Islam jelas tidak mau memberi ruang meski itu adalah sebatas karya seni. Karya seni itu menjadi Indah dan jernih ketika tidak mencampuradukan wilayah budaya, seni budaya juga agama. Intinya jangan dibalik balik atau dibulak balik tentang persepsi keyakinan Ilahiah dengan keyakinan duniawi sebagai produk budaya.
Keyakinan Ilahiah yang kami yakini adalah Baqa (Kekal) sementara keyakinan Duniawi sebagai produk budaya seharusnya dipersepsi Fana (ada batasnya-kena rusaknya). Ini itu apalah bentuknya ketika bersinggungan dengan keyakinan ilahiah memang agak sulit buat kami mentolelir hal itu. Buat kami peradaban itu menjadi tidak bermakna ketika mengingkari tingginya konsep Ilahiah yang harus didasari oleh konsep ketuhanan (dalam persepsi keislaman saya).
Tidak bermaksud menjustifikasi ataupun memvonis bersalah dengan puisi-puisi atau apapun itu bentuknya yang bersinggungan langsung dengan konsepsi dasar Ilahiah, karena bagi kami berbicara tentang "RUH MIN AMRI ROBBY" kembal kepada ALLOH AJJA WAJALLa, jika ingin mendapatkan ketidak sempurnaan sebagai manusia maka berfikirlah tentang Ciptaan Tuhan-Mu (TAFAKKARU FIKHOLKILLAH, WALA TAFAKKARU FI DADZTTIHI FATUDILLU)...Perintahnya "maka pelajarilah tentang ciptaaanya dan jangan terlalu dalam memikirkan "Dzat"-Nya dari yang maha segalanya karena itu akan berakhir sesat...
Dalam konteks ini Konsep Ilahiah memang lekat dengan Dzat-Nya makan akan sangat dipahami oleh sebagian besar umat Islam sebagai harga mati keyakinan dengan dasar ke Imanan yang kuat dan tak bisa ditawar tawar lagi. Dalam makna lainnya memang mungkin sakan sangat menyinggung perasaan Umat Islam jika yang disebut-sebut bagian dari keyakinan Iahiahnya.
Adzan dan Cadar adalah dua kata yang sangat lekat dengan bahasa-bahas isyarat ketaatan bagi umat Islam, Pun demikian sengan Syariat Islam, adalah kata-kata yang sangat dalam makna dan persepsinya bagi umat Islam.
Maka memang agak sulit ketika Syarat Islam dipadu padankan dengan Budaya apalagi budaya yang memang tidak sejalan dengan konsepsi dasar Syariat Islam (Yang Mana?) jawabanya yang akan merasakan adalah orang-orang Islam yang memang memiliki sensitiftas tinggi ketika ada nada fals terkait konsepsi dasar Syariat Islam diusik.
Lain cerita ketika belum mau berhijab misalnya bagi seorang perempuan, Itu adalah bagian dari sebuah keyakinan yang erat diyakini dengan pemahaman Hidayat (petunjuk) Alloh SWT yang juga dipahami sebagai sebuah perjalanan sepiritual seseorang.
Maka saya tidak memiliki tendesi apa-apa dengan puisi yang kini menjadi buah bibir sebagian bangsa Umat Islam Indonesia seiring dengan mencuatnya dipublik, yang saya khawatirkan adalah terjadinya pendangkalan pemaknaan luhur dari keyakinan Ilahiah kami umat Muslim oleh pemahaman yang tidak sepadan dengan keyakinan Iman dan Islamnya. Wallohu 'Alam